Minggu, 06 Desember 2009

Air Kita

Waktu memang berjalan kawan. Air kita yang tenang dan tergenang dulu kini sudah berenang. Terentang dan membentang jauh.
Berenang dalam arus yang semakin ganas dan membesar.
Ada saat dimana kita berada seiring dan mengiring, kita tergiring. Menertawakan arus bersama, terbahak tanpa takut. Pernah kita berhenti sejenak di tepian, terbuai oleh hangatnya tanah. Kita pernah lupa akan lautan. Merasakan cita yang berganti datang antara suka dan duka.
Dan detak waktu memang maju, kitapun bergerak maju. Merasakan deraan dan desahan gelombang yang karenanya kita terpisah. Ketika kamu berada diatas dan lalu terjun deras meninggalkan aku yang berkeras di air kita.
Waktu berbisik padaku kawan, katanya kamu disana, bercampur dan rancu.
Dalam garam kamu kalah dan menjadi asin.
Dalam geram aku berkata tak perlu resah.
Itu sudah adanya untuk jadi harus. Kamu sudah punya arti.
Aku menunggumu kawan di pusaran air yang tenang.
Air kita!
Kau pasti kembali.
Aku masih mengingatmu.

pintu

Aku mengetuk pintu-pintu prostitusi, dimana wanita-wanita melankolis menyambutku dengan sajian penuh cinta dan getar penuh getir kehidupan.

aku mengetuk pintu-pintu para suci yang gila masturbasi, dimana si pembuat dan si penikmat menyambutku dengan buaian indah kehidupan, isapan jempol kebahagiaan, dan pembodohan berkelas.

aku mengetuk pintu-pintu para terkutuk dan pintu-pintu para pengutuk.

dan di bangsa raya yang terberkati ini aku merasa dikutuk oleh rasaku pada yang terkutuk dan rasaku juga pada para pengutuk.

aku menutup mata, terbata ketika merasa, didera rasa sesal, kejam hatiku merasa pilu.